BAB I
PENDAHULUAN
Amal
yang pasti diterima adalah yang dikerjakan dengan ikhlas. Amal hanya
karena Allah semata, dan tidak ada harapan kepada makhluk sedikit pun.
Niat ikhlas bisa dilakukan sebelum amal dilakukan, bisa juga disaat
melakukan amal atau setelah amal dilakukan. Salah satu karunia Allah
yang harus disyukuri adalah adanya kesempatan untuk beramal. Menjadi
jalan kebaikan dan memberikan manfaat kepada orang lain. Karenanya,
jangan pernah menunda kebaikan ketika kesempatan itu datang. Lakukan
kebaikan semaksimal mungkin dan lupakan jasa yang sudah dilakukan.
Serahkan segalanya hanya kepada Allah. Itulah aplikasi dari amal yang
ikhlas.
Ketika
orang lain merasakan manfaat dari amal yang kita perbuat, maka
yakinilah bahwa tidak ada perlunya kita membanggakan diri karena merasa
berjasa. Itu semua hanya akan menghapus nilai pahala dari amal yang
diperbuat. Setiap kebaikan yang kita lakukan mutlak karunia dari Allah,
yang menghendaki kita terpilih agar bisa melakukan amal baik tersebut.
Sekiranya Allah menakdirkan kita bisa bersedekah kepada anak yatim, itu
berarti kita harus bersyukur telah menjadi jalan sampainya hak anak
yatim. Tidak perlu merasa berjasa karena hakekatnya kita hanyalah
perantara hak anak yatim itu, lewat harta, tenaga dan kekuasaan yang
Allah titipkan kepada kita.
Selain
itu, hindari sifat ’merasa’ lebih dari yang lain. Merasa pintar, merasa
berjasa, merasa dermawan, apalagi merasa shaleh, seakan-akan surga
dalam genggamannya. Semua yang kita miliki adalah titipan yang Allah
karuniakan kepada kita untuk dipergunakan sebagai sarana penghambaan
kepada-Nya.
Ketahuilah
bahwa banyaknya pahala dari sebuah amal itu menunjukan kecintaan Allah
bagi mereka yang mengerjakan amal tersebut dengan ikhlas. Rangkaian
ujian menjadi bumbu dalam melaksanakan amal tersebut. Namun bagi yang
benar-benar melakukannya hanya karena Allah, maka ia diberi ketenangan
dalam menjalankannya. Insya Allah pertolongan Allah amatlah dekat bagi
hamba yang berada di jalan-Nya.
Berkaitan
dengan suatu perbuatan, Islam sangat menekankan pentingnya motif dan
tujuan dari seorang yang melakukan perbuatan tersebut tidak cukup hanya
bentuk lahiriahnya saja. Dalam hal ini dapat diibaratkan bahwa setiap
perbuatan itu ada badan dan ruhnya. Badannya adalah bentuk luar yang
terlihat dan terdengar, sedangkan ruhnya adalah niat yang mendorong
dilakukannya perbuatan itu dan jiwa ikhlas yang mendorong terciptanya
perbuatan tersebut. Bagi golongan ahli hakikat (tasawuf), ikhlas
merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Dengan demikian, diterima atau
tidaknya suatu perbuatan sangat tergantung kepada niat yang
melakukannya.
Sedemikian
pentingnya kedudukan ikhlas dalam amal ibadah, sehingga dalam al-Qur’an
sendiri sebagai sumber utama dalam ajaran Islam-terdapat banyak ayat
yang membicarakan masalah ikhlas dalam berbagai aspeknya. Oleh karena
itu, sesuai dengan tema yang telah ditentukan, kajian dalam tulisan ini
akan berupaya memaparkan konsep ikhlas
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ikhlas
Ikhlas
merupakan amalan hati yang paling utama dan paling tinggi dan paling
pokok, Ikhlas merupakan hakikat dan kunci dakwah para rasul sejak dahulu
kala. Ikhlas merupakan istilah tauhid , orang- orang yang ikhlas adalah
mereka yang mengesankan Allah dan merupakan hamba Nya yang terpilih.
Fungsi Ikhlas dalam amal perbuatan sama dengan kedudukan ruh pada jasad
kasarnya, oleh karena itu mustahil suatu amal dan ibadah dapat diterima
yang dilakukan tanpa keikhlasan sebab kedudukannya sama dengan orang
yang melakukan amal dan ibadah tersebut bagai tubuh yang tidak bernyawa.
Lafaz
ikhlas menunjukkan pengertian jernih, bersih dan suci dari campuran dan
pencemaran. Sesuatu yang murni artinya bersihtanpa ada campuran, baik
yang bersifat materi maupun nonmateri. Adapun pengertian ikhlas menurut
syara’ adalah seperti yang diungkapkan oleh ibnu qayyim berikut:
Mengesankan Allah dalam berniat bafi yang melakukan ketaatan, bertujuan
hanya kepada Nya tanpa mempersekutukan Nya dengan sesuatupun. Dan
menurut Al- Fairuzabi :” Ikhlas karena Allah , artinya meninggalkan
riya’ dan tidak pamer.
Orang
yang ikhlas adalah seseorang yang tidak peduli meskipun semua
penghargaan atas dirinya hilang demi meraih kebaikan hubungan kalbunya
dengan Allah, dan orang tersebut tidak ingin apa yang ia lakukan
dipamerkan walaupun sebesar bizi zahrapun.
Sebagaimana Firman Allah SWT dlam surat Az- zumar ayat 14
È@è% ©!$# ßç7ôãr& $TÁÎ=øèC ¼ã&©! ÓÍ_Ï ÇÊÍÈ
14. Katakanlah: "Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku".
Dan dalam surat Al- An’am ayat 162-163
ö@è% ¨bÎ) ÎAx|¹ Å5Ý¡èSur y$uøtxCur ÎA$yJtBur ¬! Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ w y7ΰ ¼çms9 ( y7Ï9ºxÎ/ur ßNöÏBé& O$tRr&ur ãA¨rr& tûüÏHÍ>ó¡çRùQ$# ÇÊÏÌÈ
162. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
163.
tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".
Dikisahkan oleh Umamah ra, ada seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya, “Wahai
Rasulullah, apakah pendapat Engkau tentang seseorang yang berperang
dengan tujuan mencari pahala dan popularitas diri. Kelak, apa yang akan
ia dapat di akherat?” Rasulullah SAW menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa. Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya sampai tiga kali. Tetapi Rasulullah SAW tetap menjawabnya, “Ia tidak menerima apa-apa!” Kemudian Beliau SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan, kecuali yang murni dan yang mengharapkan ridha-Nya”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
Keterangan
itu menjelaskan kepada kita agar meluruskan niat dalam beramal. Amal
perbuatan sangat tergantung pada niat. Niat yang baik akan mendapatkan
pahala, walaupun amalan itu sangat kecil. Tetapi niat yang buruk akan
mendapatkan dosa walaupun amalan itu sangat besar menurut syariat.
Berjihad merupakan amalan yang sangat besar dan memerlukan pengorbanan
yang sangat besar pula, baik harta maupun tenaga, bahkan bisa
mempertaruhkan nyawa. Pahalanya pun luar bisa. Mati syahid merupakan
mati yang paling mulia. Tetapi, jika niatnya buruk, umpamanya karena
niat ingin disebut sebagai pejuang yang hebat, maka hasil yang
didapatkan adalah kehinaan dan kesengsaraan di akherat nanti .
Demikian
pula ikhlas merupakan dasar dari amalan hati, sedangkan pekerjaan
anggota tubuh lainnya mengikut padanya dan menjadi pelengkap baginya.
Ikhlas dapat membesarkan amal yang kecil hingga menjadi seperti gunung.
Sebaliknya
Riya akan mengecilkan amal yang besar hingga tidak punya timbangan di
sisi Allah, melainkan lenyap begitu saja bagaukan debu yang
berterbangan.
B. Makna Ikhlas dalam al-Qur’an
Secara
etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha
yang berasal dari akar kata khalasha. Menurut Luis Ma’luuf, kata
khalasha ini mengandung beberapa macam arti sesuai dengan konteks
kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat),
washala (sampai), dan I’tazala (memisahkan diri).
Bila
diteliti lebih lanjut, kata ikhlas sendiri sebenarnya tidak dijumpai
secara langsung penggunaannya dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah
kata-kata yang berderivat sama dengan kata ikhlas tersebut. Secara
keseluruhan terdapat dalam tiga puluh ayat dengan penggunaan kata yang
beragam. Kata-kata tersebut antara lain : kata khalashuu, akhlashnaahum,
akhlashuu, astakhlish, al-khaalish, dan khaalish masing-masing sebanyak
satu kali. Selanjutnya kata khaalishah lima kali, mukhlish (tunggal)
tiga kali, mukhlishuun (jamak) satu kali, mukhlishiin (jamak) tujuh
kali, mukhlash (tunggal) satu kali, dan mukhlashiin (jamak) sebanyak
delapan kali.
Selanjutnya,
ditinjau dari segi makna, term ikhlas dalam al-Qur’an juga mengandung
arti yang beragam. Dalam hal ini al-Alma’i merinci pemakaian term
tersebut kepada empat macam :
Pertama,
ikhlas berarti al-ishthifaa’ (pilihan) seperti pada surat Shaad :
46-47. Di sini al-Alma’i mengutip penafsiran dari Ibn al-Jauzi terhadap
ayat tersebut yang intinya bahwa Allah telah memilih mereka dan
menjadikan mereka orang-orang yang suci. Penafsiran yang sama juga
dikemukakan oleh al-Shaabuuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafaasiir,
yakni “Kami (Allah) istimewakan mereka dengan mendapatkan kedudukan yang
tinggi yaitu dengan membuat mereka berpaling dari kehidupan duniawi dan
selalu ingat kepada negeri akhirat.” Dengan demikian terdapat kaitan
yang erat (munaasabah) antara ayat 46 dengan 47, yakni ayat yang
sesudahnya menafsirkan ayat yang sebelumnya.
Kedua,
ikhlas berarti al-khuluus min al-syawaa’ib (suci dari segala macam
kotorn), sebagaimana tertera dalam surat an-Nahl : 66 yang membicarakan
tentang susu yang bersih yang berada di perut binatang ternak, meskipun
pada mulanya bercampur dengan darah dan kotoran ; kiranya dapat
dijadikan pelajaran bagi manusia. Makna yang sama juga terdapat dalam
surat al-zumar : 3, walaupun dalam konteks yang berbeda. Dalam ayat
tersebut dibicarakan tentang agama Allah yang bersih dari segala noda
seperti syirik, bid’ah dan lain-lain.
Ketiga,
ikhlas berarti al-ikhtishaash (kekhususan), seperti yang terdapat pada
surat al-Baqarah : 94, al-An’am : 139, al-A’raf : 32, Yusuf : 54, dan
al-Ahzab : 32.
Keempat,
ikhlas berarti al-tauhid (mengesakan) dan berarti al-tathhir
(pensucian) menurut sebagian qira’at. Ikhlas dalam artian pertama inilah
yang paling banyak terdapat dalam al-Qur’an, antara lain terdapat dalam
surat al-Zumar : 2,11,14, al-Baqarah : 139, al-A’raf : 29, Yunus : 22,
al-Ankabut : 65, Luqmaan : 32, Ghaafir : 14,65, an-Nisaa : 146, dan
al-Bayyinah : 5. Dalam ayat-ayat tersebut, kata-kata yang banyak
digunakan adalah dalam bentuk isim fa’il (pelaku), seperti mukhlish
(tunggal) dan mukhlishuun atau mukhlshiin (jamak). Secara leksikal kata
tersebut dapat diartikan dengan al-muwahhid (yang mengesakan). Dalam
konteks inilah kiranya surat ke-112 dalam al-Qur’an dinamakan surat
al-ikhlaas, dan kalimat tauhid (laa ilaaha illa Allah) disebut kalimat
al-ikhlas. Dengan demikian makna ikhlas
dalam ayat-ayat di atas adalah perintah untuk selalu mengesakan Allah
dalam beragama, yakni dalam beribadah, berdo’a dan dalam perbuatan taat
lainnya harus dikerjakan semata-mata karena Allah; bukan karena yang
lain. Itulah sebabnya mengapa term ikhlas pada ayat-ayat di atas selalu
dikaitkan dengan al-diin.
Adapun
ikhlas dalam arti yang kedua (al-tathhiir) ditujukan kepada orang-orang
yang telah disucikan Allah hatinya dari segala noda dan dosa sehingga
mereka menjadi hamba Allah yang bersih dan kekasih pilihan-Nya. Hal ini
seperti yang tercantum dalam surat Yusuf : 24, al-Hijr : 40, al-shaffat :
40,74,128,166,169, Shaad : 83, dan surat Maryam : 51. Pada ayat-ayat
tersebut semuanya memakai kata mukhlashiin (jamak) kecuali surat Maryam :
51 yang memakai bentuk tunggal (mukhlash). Selain itu semua kata
mukhlashiin dalam ayat-ayat tersebut selalu dikaitkan dengan kata ibaad
(hamba).
C. Ikhlas dalam Beragama
Menurut
al-Jarjaani, pengertian ikhlas secara etimologis adalah menjauhkan
perbuatan pura-pura (riya’) dalam melakukan ketaatan. Sedangkan secara
terminologis, ikhlas adalah membersihkan hati dari segala noda yang
dapat memperkeruh kejernihan. Sementara itu menurut al-Alma’i, definisi
ikhlas secara syar’i adalah seseorang yang dalam perkataan, perbuatan
dan jihadnya semata-mata ditujukan untuk Allah seraya mengharapkan
keridhaan-Nya.
Dari
kedua definisi di atas dapat dipahami bahwa ikhlas adalah menyengajakan
suatu perbuatan karena Allah dan mengharapkan ridha-Nya serta
memurnikan dari segala macam kotoran dan godaan seperti keinginan
terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan, harta,
pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai dengan
perintah Allah yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat
162-163, artinya : Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku
dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu
bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam surat al-Bayyinah ayat 5,
artinya
: Mereka tidak disuruh kecuali untuk mengabdikan dirinya kepada Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan menjalankan agama secara
benar, yaitu dengan mendirikan shalat dan menunaikan zakat; itulah yang
disebut sebagai agama yang lurus.
Selain
pada ayat di atas, perintah untuk ikhlas dalam beragama, yakni
menunaikan ibadah dan ketaatan kepada Allah, juga terdapat dalam surat
az-Zumar: 2,11,14, al-A’raf: 29, dan surat Ghafiir: 14 dan 65.
Dari
beberapa ayat di atas dap`t dipahami bahwa kedudukan ikhlas sangat
besar peranannya dalam suatu ibadah, baik ibadah dalam arti khusus
maupun umum. Faktor keikhlasan merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan suatu perbuatan itu dapat diterima atau ditolak oleh Allah
SWT. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir ketika menafsirkan surat
al-A’raf: 29 di atas, bahwa Allah memerintahkan agar istiqamah dalam
beribadah, yaitu dengan cara mengikuti ajaran para rasul dan ikhlas
dalam beribadah; karena Allah SWT tidak akan menerima suatu amal
sehingga terpenuhi dua rukun, yaitu: pertama, amal perbuatan itu harus
dilakukan dengan benar sesuai dengan hukum syari’at, dan kedua, amal
perbuatan tersebut harus bersih dari tindakan syirik.
Jika
kita mengacu kepada rukun yang pertama, maka supaya suatu perbuatan
dapat diterima oleh Allah, harus dilaksanakan berdasarkan syari’at Islam
sebagaimana yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Sebagai
landasannya, antara lain harus didahului dengan niat, sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW. yang artinya, Sesungguhnya segala perbuatan itu
tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu
sesuai dengan niatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Karena
pentingnya hadits tersebut, imam Bukhari diikuti oleh banyak penyusun
hadits lainnya meletakkannya diawal kitabnya al-Jami’ al-shahih. Ini
menunjukkan pentingnya niat dan melepaskan diri dari berbagai
kepentingan pribadi dan dunia dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
ditujukan untuk kehidupan akhirat. Lebih tegas lagi mereka mengatakan
bahwa hadits ini merupakan seperempat Islam, atau bahkan sepertiganya.
Selain
itu, secara praktis setiap perbuatan harus dilaksanakan sesuai dengan
yang telah diajarkan oleh nabi SAW., sebagaimana sabda beliau yang,
artinya: Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami
perintahkan, maka perbuatan itu tertolak. (HR. Muslim)
Selanjutnya
bila kita mengacu pada rukun yang kedua, supaya amal perbuatan diterima
oleh Allah, maka amal tersebut harus bersih dari perbuatan syirik.
Artinya setiap amal perbuatan harus didasari keikhlasan kepada Allah
SWT.. Karena ikhlas sangat erat kaitannya dengan kemurnian tauhid,
aqidah yang benar, dan tujuan yang jelas. Hal ini sangat beralasan,
terbukti dengan banyaknya ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia
bersikap ikhlas yang diturunkan pada periode Mekkah yang terdapat dalam
surat az-Zumar ayat 3 yang artinya, Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah
agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil
pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya."
Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang
apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki
orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar..
Lawan
dari sikap ikhlas adalah sikap riya’. Bila ikhlas adalah beribadat atau
beramal shaleh untuk mendekatkan diri kepada Allah (karena Allah), maka
riya’ adalah beribadat atau beramal karena manusia atau karena selain
Allah. Menurut Abu Bakar al-Jazaa’iri, hakikat riya’ adalah keinginan
seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Tetapi motifnya
untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kehormatan di kalangan manusia.
Meskipun
riya’ tersebut merupakan penyakit yang sifatnya abstrak, namun
tanda-tandanya secara empiris dapat dirasakan, terutama bagi orang yang
melakukannya. Lebih lanjut, al-Jazaa’iri merincikan beberapa tanda orang
yang riya’ sebagai berikut:
1. Seseorang yang bertambah ketaatannya bila dipuji, tetapi berkurang atau bahkan meninggalkan bila mendapat celaan dan ejekan.
2. Tekun bila beribadat di depan orang banyak, tetapi malas bila sendirian.
3. Mau memberi sedekah bila dilihat orang banyak, tetapi enggan bila tidak ada orang yang melihatnya.
4.
Berkata dan berbuat kebaikan bukan semata-mata karena Allah SWT.
Melainkan karena manusia juga atau semata-mata karena pamrih kepada
manusia.
Sikap
riya’ merupakan salah satu bagian dari syirik yang dapat membuat amal
kebajikan yang telah dikerjakan menjadi sia-sia di sisi Allah SWT..
Sebagaiman sabda Rasulullah SAW yang artinya: Sesungguhnya yang paling
saya takutkan terhadap sesuatu yang saya takuti menimpa kalian adalah
syirik yang terkecil. Mereka bertanya: Apakah syirik yang terkecil itu
wahai Rasulullah?, jawabnya adalah riya’. Pada hari kiamat nanti, ketika
seorang hamba akan mendapatkan balasan atas apa yang mereka kerjakan,
Allah SWT. akan berfirman: Pergilah kalian kepada orang-orang yang dulu
kalian berbuat riya’ kepada mereka ketika di dunia, dan lihatlah apakah
kalian mendapatkan balasan dari mereka atas apa yang kalian kerjakan.
Di
dalam al-Qur’an juga terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang
sia-sianya amal seseorang karena bermotifkan riya’, seperti diuraikan
dalam surat al-Baqarah: 264. Pada ayat ini dijelaskan bahwa perumpamaan
orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia adalah
bagaikan batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa
hujan lebat sehingga menjadi bersih tanpa bekas. Maka demikianlah
sia-sianya amal (infak) orang-orang yang riya’ dan musyrik, bagi mereka
tidak ada balasan (pahala) di akhirat nanti.
Hal
yang serupa juga dijelaskan dalam surat al-ma’un ayat 4-6, yaitu berupa
ancaman bagi orang-orang yang melakukan shlat dengan lalai dan berbuat
riya’. Demikian juga diuraikan dalam surat al-Taubah: 107 perihal
orang-orang yang membangun mesjid yang tujuannya untuk menimbulkan
kemudharatan dan perpecahan di kalangan orang-orang mukmin.
Dari
beberapa penjelasan dan contoh kasus di atas, dapat dipahami bahwa amal
yang benar dan sesuai dengan tuntutan syari’at Islam belum pasti
diterima oleh Allah SWT. jika tidak disertai dengan niat yang ikhlas dan
dikerjakan semata-mata untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Demikian pula
sebaliknya, niat yang ikhlas semata-mata belum menjamin amal perbuatan
seseorang akan diterima Allah SWT. jika tidak sesuai dengan yang telah
digariskan syari’at islam.
D. Keistimewaan Orang-orang yang Ikhlas
Orang-orang
yang ikhlas merupakan orang-orang yang bersih dari dosa karena mereka
telah berusaha membersihkan dirinya dengan benar-benar melaksanakan
segala perintah Allah denga tulus. Dalam beraqidah mereka benar-benar
mengesakan Allah SWT. dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain
seperti halnya orang-orang musyrik, yahudi dan nasrani. Selanjutnya
dalam melakukan ibadah dan amal kebajikan lainnya mereka kerjakan
semata-mata karena Allah dan untuk Allah; bukan karena manusia dengan
cara riya’ dan sum’ah, untuk mendapatkan popularitas dan kesenangan hawa
nafsu lainnya. Oleh karena itu wajar kiranya terhadap orang-orang yang
ikhlas ini Allah SWT. menganugrahkan keistimewaan dan kelebihan kepada
mereka, baik dalam kehidupan duniawi dan ukhrawinya.
Apabila
kita kembali merujuk kitab suci al-Qur’an, maka akan kita temukan di
dalamnya beberapa ayat yang menerangkan keistimewaan dan keutamaan
orang-orang yang ikhlas, antara lain sebagai berikut.
Pertama,
selamat dari kesesatan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah dalam
surat al-Hijr: 39-40 yang artinya sebagai berikut:
Iblis
berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku
sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan
ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.
Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”. Dan begitu
juga firman Allah dalam surat Shad ayat 82-83 yang artinya sebagai
berikut: Iblis menjawab: “Demi kekuasan Engkau aku akan menyesatkan
mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka”.
Ayat
di atas merupakan penggalan kisah Nabi Adam dan pembangkangan pertama
yang dilakukan oleh iblis terhadap Allah SWT. Mereka adalah hamba Allah
yang membangkang, durhaka, ingkar, sombong dan terkutuk yang diberi umur
panjang—karena perminyaan mereka—hingga mendekati hari kiamat. Mereka
ingin menyesatkan semua manusia untuk diajak ke neraka dengan bujuk
rayunya yang manis. Maka berdasarkan ayat di atas, orang-orang yang
ikhlas tidak akan dapat digoda oleh iblis dan sekutunya karena mereka
telah mendapatkan perlindungan dari Allah SWT.
Kedua,
dapat mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu merupakan salah satu potensi
yang ada dalam diri manusia yang selalu cendrung untuk mengajak manusia
kepada kesenangan-kesenangan badaniah, pemuasan syahwat dan
keinginan-keinginan rendah lainnya. Hal ini sebagaimana diterangkan
Allah dalam al-Qur’an surat Yusuf: 53 yang artinya sebagai berikut: Dan
aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu
itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Di
antara orang yang tidak mudah diperbudak oleh hawa nafsunya adalah
orang-orang yang ikhlas. Seperti dikisahkan dalam surat Yusuf: 24
tentang Yusuf yang diajak berselingkuh oleh seorang wanita (Zulaikha),
istri seorang raja Mesir. Namun berkat perlindungan Allah, ia selamat
dari godaan hawa nafsu yang akan menjerumuskannya ke dalam kema’siatan.
Dengan
demikian, sikap ikhlas akan membentengi manusia dari segala dorongan
dan bujukan hawa nafsu, seperti keinginan terhadap kemewahan, kedudukan,
harta, popularitas, simpati orang lain dan sebagainya. Di mana untuk
mewujudkan keinginan-keinginannya tersebut kadang-kadang seseorang
cenderung melakukan segala cara seperti dengan melakukan korupsi, kolusi
dan nepotisme. Di samping itu juga tidak segan-segan untuk menjilat
atasan dan menginjak bawahannya, asalkan tujuannya tercapai.
Ketiga,
do’anya akan dikabulkan Allah SWT.. Dalam menjalani kehidupannya di
dunia, manusia seringkali dihadapkan kepada berbagai problema kehidupan
yang tidak dapat ditanggulangi oleh dirinya sendiri. Dalam kondisi yang
demikian, manusia biasanya baru menyadari akan kelemahannya dan tidak
henti-hentinya berdo’a kepada Allah supaya cepat terbebas dari problema
yang dihadapinya. Meskipun demikian, Allah SWT. akan tetap mengabulkan
permohonan mereka jika memang dilakukannya dengan penuh keikhlasan.
Sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Lukman ayat 32 yang artinya
sebagai berikut: Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti
gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka
tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian
mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak
ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia
lagi ingkar.
Selain
ayat di atas, penjelasan yang serupa juga terdapat dala surat Al
Ankabut : 65 dan Yunus : 22. Dalam ayat tersebut diterangka tentang
diselamatkannya orang-orang yang ingkar dari amukan badai dan gelombang
lautan disebabkan do’a mereka yang penuh keikhlasan. Ketika menafsirkan
ayat tersebut (Yunus : 22), al-qurthubi berkomentar, bahwa ayat ini
menunjukkan bahwa manusia akan kembali kepada Allah seraya berdo’a
kepada-Nya ketika menghadapi kesulitan, dan sesungguhnya orang-orang
yang dalam keadaan terjepit (bahaya) akan dikabulkan do’anya sekalipun
ia orang kafir, disebabjan keikhlasan mereka kembali kepada Allah.
Di
samping beberapa ayat di atas, juga terdapat hadits Rasulullah SAW.
Yang menerangkan tentang dikabulkannya do’a orang yang ikhlas. Di
antaranya dikisahkan dalam sebuah hadits yang cukup panjang mengenai
tiga orang yang terperangkap dalam sebuah goa yang tertutup oleh
sebongkah batu besar akibat longsor. Kemudian ketiga orang itu
bertawassul kepada Allah dengan perbuatan yang telah dilakukannya yang
benar-benar ditujukan kepada Allah seraya berdo’a : Ya Allah, jika aku
melakukan perbuatan ini karena mencari ridha-Mu, maka mudahkanlah
kesulitan kami. Maka Allah-pun memudahkan kesulitan mereka, mereka
dikeluarkan dari dalam goa dengan selamat.
Keempat,
terhindar dari siksaan neraka dan masuk kedalam syurga di akhirat.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah SWT. Dalam al-Qur’an surat
al-Shaffat : 40, 74, 128,160, dan 169. Ayat – ayat tersebut menjelaskan
orang – orang yang telah disucikan Allah dari segala dosa dan noda
sehingga menjadi orang – orang pilihan dan kesayangan-Nya.di dunia
mereka telah diselamatkan dari segala kehinaan dan bencana, seperti yang
dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, Tsamud dan kaum yang ingkar lainnya.
Sementara di akhirat nanti mereka akan terbebas dari siksaan api neraka,
serta akan mendapatkan balasan yang sempurna atas amal saleh yang telah
mereka lakukan berupa kenikmatan di dalam surga yang tiada
tandingannya, kenikmatan yang belum pernah terlintas pada pendengaran,
penglihatan, dan hati manusia. Itulah balasan dari Allah SWT
kepada orang – orang yang ikhlas dalam beraqidah, beribadah, dan
bermuamalah.
E. Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri - ciri, diantaranya:
1. Selalu memandang diri sendiri
2. Khawatir terhadap popularitas
3. Cinta dan benci karena Allah
4. Tudak terpengaruh oleh kedudukan dan pangkat
5. Tetap beramal meski belum terlihat hasilnya.
F. Ikhlas, satu kata yang mudah diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan.
Seorang
ulama yang bernama Sufyan Ats Tsauri pernah berkata, Sesuatu yang
paling sulit bagiku untuk aku luruskan adalah niatku, karena begitu
seringnya ia berubah-ubah. Niat adalah pengikat amal. Keikhlasan
seseorang benar-benar menjadi teramat sangat penting dan akan membuat
hidup ini menjadi lebih mudah, indah dan jauh lebih bermakna. Amal
kebaikan yang tidak terdapat keikhlasan di dalamnya hanya akan
menghasilkan kesia-siaan belaka.
Bahkan
bukan hanya itu, ingatkah kita akan sebuah hadits Rasulullah yang
menyatakan bahwa tiga orang yang akan masuk neraka terlebih dahulu
adalah orang-orang yang beramal kebaikan namun bukan karena Allah? Ya,
sebuah amal yang tidak dilakukan ikhlas karena Allah bukan hanya tidak
dibalas apa-apa, bahkan Allah akan mengazab orang tersebut, karena
sesungguhnya amalan yang dilakukan bukan karena Allah termasuk perbuatan
kesyirikan yang tak terampuni dosanya kecuali jika ia bertaubat
darinya.
G. Penutup
Sikap
ikhlas dapat membuahkan hasil yang baik dan positif pada diri
seseorang. Memang kata ikhlas sangat mudah diucapkan tetapi sukar untuk
dilaksanakan. Begitu banyak keistimewaan dan keutamaan yang dijanjikan
Allah bagi hamba-Nya yang ikhlas, namun terasa sulit mengamalkannya.
Mudah – mudahan kajian yang sederhana dalam tulisan ini akan dapat
menambah motivasi bagi setiap umat Islam untuk selalu ikhlas dalam
melakukan segala aktivitas yang diredai Allah.
Tithlon's titanium white dominus | TITanium Artisan Artisan
BalasHapusTithlon's titanium titanium plate flat irons white titanium sheets dominus. The beautiful Tithlon red is a how strong is titanium classic in design. The Tithlon red is a diamond shape and is not a member 바카라사이트 of titanium wheels Tithlon. The diamond is
v354h5odghh948 realistic dildos,anal vibrators,dildo,Rabbit Vibrators,horse dildo,dog dildos,Wand Massagers,dog dildo,dildos u480t0wzqga697
BalasHapus