BAB I
PENDAHULUAN
Salah
satu isu terhangat pasar keuangan syariah adalah kesesuaian syariah dari sukuk.
Muhammad Taqi Usmani, seorang ahli fikih dan pakar keuangan syariah kenamaan
yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Syariah AAOIFI, sebuah lembaga
internasional terkemuka yang membuat berbagai aturan standar keuangan syariah
dunia, mengatakan 85 persen penerbitan sukuk dunia tidak sesuai dengan syariah.
itu
menyatakan bahwa sukuk-sukuk (Obligasi Syari’ah) tersebut pada umumnya memiliki
kemiripan praktik dengan obligasi konvensional berbasis bunga sehingga jika
tidak segera diperbaiki mekanismenya dikhawatirkan akan menciptakan sejumlah
masalah di masa datang. Ia pun mempermasalahkan struktur sukuk yang lebih
mendekati struktur debt-based daripada equity-based. Sebuah pernyataan yang
perlu mendapatkan perhatian dari seluruh pemangku kepentingan industri keuangan
syariah mengingat latar belakang kepakaran beliau tidak diragukan lagi.
Harus kita akui,
bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk terobosan baru
dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah istilah yang
memiliki akar sejarah yang panjang.Inilah salah satu bentuk produk yang paling
inovatif dalam pengembangan sistem keuangan syariah kontemporer.
Obligasi syariah
berbeda dengan obligasi konvensional.Semenjak ada konvergensi pendapat bunga
adalah riba, maka instrument-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing
instrument) ini keluarkan dari daftar investasi halal.Kerna itu,
dimunculkan alternative yang dinamakan obligasi syariah.
Pada awalnya,
penggunaan istilah “obligasi syariah” sendiri dianggap kontradiktif.Obligasi
sudah menjadi kata yang tak mungkin lepas dari bunga sehingga tidak
dimungkinkan untuk disyariahkan.
Karakteristik dan
istilah sukuk merupakan pengganti dari istilah sebelumnya yang memggunakan
istilah bond, dimana istilah bond mempunyai makna loan (hutang), dengan
menambahkan Islamic maka kontradiktif maknanya karena biasanya yang mendasari
mekanisme hutang (loan) adalah interest, sedangkan dalan Islam interest
tersebut termasuk riba yang diharamkan. Untuk itu sejak tahun 2007 istilah bond
ditukar dengan istilah Sukuk sebagaimana disebutkan dalam peraturanm di Bapepam
LK.
Sukuk bukan merupakan
utang berbunga tetap, tetapi lebih merupakan penyertaan dana (investasi) yang
didasarkan pada prinsip bagi hasil jika menggunakan akad mudharabah dan
musyarakah. Transaksinya bukan akad hutang piutang melainkan penyertaan.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Sukuk (Oligasi Syari’ah)
A. Pengertian sukuk
Sukuk berasal dari kata “صكوك” bentuk jamak dari
kata “صك”dalam bahasa Arab yang berarti cek atau
sertifikat, atau alat tukar yang sah selain uang. Kata “sukuk” pertama
kali diperkenalkan kembali dan diajukan sebagai salah satu alat keuangan Islam
pada rapat ulama fikih sedunia yang diselenggarakan oleh Islamic Development
Bank (IDB) pada tahun 2002. Secara
singkat AAOIFI mendefinisikan sukuk sebagai sertifikat berniliai sama yang
merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu asset, hak manfaat
dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu.
Pada
prinsipnya sukuk mirip seperti obligasi konvensional dengan perbedaan pokok
antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti
bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) berupa
sejumlah tertentu asset yang menjadi dasar penerbitan sukuk dan adanya akad
atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip
syariah. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agara
instrument keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar dan maysir.
Sukuk
bukan merupakan utang berbunga tetap, tetapi lebih merupakan penertaan dana
(investasi) yang didasarkan pada prinsip bagi hasil jika menggunakan akad
mudharabah dan musyarakah. Transaksinya bukan akad hutang piutang melainkan
penyertaan.
B. Dalil sukuk atau Obligasi syari’ah
Adapun dalil yang berkenaan dengan
kebolehan Sukuk (obligasi syariah) penyusun sarikan dari Himpunan Fatwa Dewan
Syariah Nasional. Berikut dalil-dalilnya:
1. Firman
Allah SWT, QS. Al-Ma’idah [5]:1:
يَاْاَيُّهَااَّلَّذِيْنَ
ءَامَنُوْا اَوْفُوْا بِاْلعُقُوْدِ
Hai orang –
orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu[1]
2. Firman
Allah SWT, QS. Al-Isra’ [17]: 34:
وَاَوْفُوْا
بِاْلعَهْدِ اِنَّ اْلعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
4 “......dan penuhilah janji;
Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”
3. Hadis Nabi SAW:
عن عمرو بن عوف المزاني قال رسول الله ص م : الصّلْح جائز بين
الْمسلمين الا صلْحا حرّم حلالا أَو أَحلّ حراما والْمسلمون علَى شروطهِم إلا شرطا
حرّم حلالا أو أحلّ حراما (رواه امام الترمذى)
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum
muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram.”
4. Kaidah Fikih:
الأصل
فى العادات العفو فلا يحظر منه الا ما حرم الله
C. Pendapat Ulama’
Fatwa dewan syari`ah Nasional No.
32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Sukuk (Obligasi
syari`ah) adalah surat berharga berjangka panjang
berdasarkan prinsip syariah yang dikelurkan emitten kepada pemegang obligasi
syariah, tersebut berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh
tempo.”
Karakteristik dan istilah sukuk merupakan
pengganti dari istilah sebelumnya yang memggunakan istilah bond, dimana istilah
bond mempunyai makna loan (hutang), dengan menambahkan Islamic maka
kontradiktif maknanya karena biasanya yang mendasari mekanisme hutang (loan)
adalah interest, sedangkan dalan Islam interest tersebut termasuk riba yang
diharamkan. Untuk itu sejak tahun 2007 istilah bond ditukar dengan istilah
Sukuk sebagaimana disebutkan dalam peraturanm di Bapepam LK.
Abu Hanifa dan muridnya Abu Yusuf
memberikan pandangan bahwa penjualan sesuatu/properti yang belum diterima oleh
si penjual namun sudah jelas keberadaan fisiknya (dapat dicek keberadaannya)
adalah diperbolehkan. Maka dari sinilah pondasi instrument bernama sukuk di
abad modern ini bermula. (Abu Fahmi
D. Pendapat sendiri
Sukuk (Obligasi syariah) merupakan alternative bagi
umat islam untuk berinvestasi secara aman dan halal. Kita tidak sedang berandai-andai
bahwa kita hidup di zaman dahulu dimana kehidupan dunia belum terhubungkan
dengan cepat dan terbuka lebar. Kita harus faham bagaimana kaum kapitalis
menguasai dunia melalui penguasaan perusahaan-perusahaan yang memenuhi
keperluan hidup orang banyak, khususnya Muslim. Apakah Muslim tidak boleh
menjadi pemilik perusahaan-perusahaan tersebut? Atau apakah perusahaan-perusahaan
milik Muslim tidak boleh masuk bursa disebabkan instrument yang mengandung
riba? Muslim berhak dan wajib menguasai perekonomian dunia, dan Islam melalui
kekayaan khazanah pemikiran ulamanya telah menciptakan sukuk sebagai instrument
pengganti tersebut yang bebas dari unsur riba, judi, dan gharar.
E. Hukum sukuk (obligasi konvensional)
sukuk dalam mekanisme dan
persyaratan tertentu yang menghindarkan diri dari kedua unsur yang disebutkan
dalam riwayat di atas adalah boleh dan halal.
II. Obligasi konvensional
A. Pengertian
Terdapat bebarapa defenisi mengenai obligasi.
Obligasi atau bond, adalah surat hutang jangka panjang yang dikeluarkan
oleh emiten (peminjam) dapat berupa badan hukum/ perusahaan atau pemerintah
yang memerlukan dana untuk kebutuhan operasi maupun ekspansi mereka, dengan
kewajiban untuk membayar kepada bond holder (pemegang obligasi) sejumlah
bunga tetap yang telah ditetapkan sebelumnya. Investasi pada obligasi memiliki
potensial keuntugan lebih besar dari pada produk perbankan.Keuntugan
berivestasi di obligasi adalah memperoleh bunga dan kemugkianan adanya capital
again.
Defenisi lainnya, obligasi adalah suatu
pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi dan janji
untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat
tanggal jatuh tempo pembayaran. Ketentuan lain dapat juga dicantumkan dalam
obligasi tersebut misalnya, identitas pemegang obligasi, pembatasan –
pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan oleh penerbit
B. Dalil Obligasi
Konvensional
Imam Malik dalam al-muwatha’:
Yahya meriwayatkan padaku (Imam
Malik) dari Malik bahwa ia mendengar tanda terima/resit/kwitansi (sukukun)
dibagikan pada penduduk pada masa Marwan ibn al-Hakam untuk barang-barang yang
berada di pasar al-Jar. Penduduk membeli dan menjual kwitansi/resit tersebut
diantara mereka sebelum mereka mengambil barangnya. Zayd ibn Tsabit bersama
seorang Sahabat Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, pergi menghadap Marwan
ibn al-Hakam dan berkata, “Marwan! Apakah engkau menghalalkan Riba?” Ia
menjawab, “Naudzubillah! Apakah itu?” Ia berkata, “Resit-resit ini yang
dipergunakan penduduk untuk berjual-beli sebelum menerima barangnya.” Marwan
kemudian mengirim penjaga untuk mengikuti mereka dan mengambilnya dari penduduk
kemudian mengembalikannya pada pemilik asalnya.
Riwayat ini menunjukan keharaman
surat jaminan karena dua hal;
(1) apa yang dilakukan oleh
masyarakat dalam riwayat tersebut sesungguhnya adalah jual-beli hutang dan,
(2) hal-hal yang berhubungan
dengan riba al-nasi’ah terutamanya pada penggunaan dayn dalam pertukaran (sarf)
barang yang sama jenisnya.
C. Pendapat
Ulama’
Sebagian
besar ulama Islam kontemporer melarang jual beli obligasi konvensional dalam
semua jenis dan secara keseluruhan, serta menganggap bahwa hukumnya haram
mutlak. Para ulama yang berpendapat seperti itu ialah Syaikh Shaltut, Muhammad
Yusuf Mussa, Syaikh Yusuf Qardawi, Abdul Aziz al Kahiat, Ali al Salus, dan
Saleh Marzuki dengan memberi petunjuk fiqh yang menjadi dasar keluarnya fatwa
larangan tersebut yaitu:
1. Obligasi
konvensional yang dikeluarkan oleh perusahaan atau pemerintah dianggap sama
seperti utang yang di dalamnya terdapat bunga. Bunga ini bisa dikategorikan
sebagai riba al-nasia yang diharamkan oleh Islam.
2. Utang
obligasi sama dengan deposito yang disimpan dalam bank, dan hitungan bunga atas
obligasi dianggap sama dengan bunga deposito, walaupun uang dari obligasi itu
bisa diinvestasikan secara khusus setelah diserahkan kepada pihak yang
mengeluarkan obligasi serta dijamin atas pengembaliannya setelah jatuh tempo
plus tambahnya (bunga). Cara ini dianggap sama saja dengan utang yang dipakai
untuk produksi yang dikenal di zaman jahiliah dan diharamkan oleh Al-Qur’an dan
Sunah.
Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) tentang Obligasi
Batasan-batasan obligasi yang diperbolehkan dalam syariah
islam dari fatwa-fatwa tersebut adalah:
§
Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat
hutang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga.
§Obligasi
yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip
syariah.
§
Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip
syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang
mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah
berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat
jatuh tempo.
D. Pendapat
Sendiri
Tidak ada dalil yang menghalalkan obligasi
konvensional.
F.
Hukum Obligasi Konvensional
Hokum Obligasi Konvensional adalah haram, karena tidak
sesuai dengan ajaran syariat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1)
Pada prinsipnya sukuk mirip seperti obligasi
konvensional dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep
imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi
pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu asset yang menjadi
dasar penerbitan sukuk dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang
disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Selain itu, sukuk juga harus
distruktur secara syariah agara instrument keuangan ini aman dan terbebas dari
riba, gharar dan maysir.
2)
sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah
satu bentuk terobosan baru dalam dunia keuangan Islam
3)
Perbedaan antara obligasi
syariah dengan obligasi konvensional dapat dilihat terutama pada pendapatannya.
Obligasi syariah memakai sistim bagi hasil sedangkan obligasi konvensional
returnnya/pendapatannya memakai sistim bunga. Perbedaan kedua obligasi tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
4)
Tabel 1. Obligasi Syariah dengan Obligasi
Konvensional
Keterangan
|
Sukuk (Obligasi Syariah)
|
Obligasi
Konvensional
|
Harga
penawaran
|
100%
|
100%
|
Jatuh
tempo
|
5
tahun
|
|
Pokok
Obligasi saat j`tuh tempo
|
100%
|
100%
|
Pendapatan
|
Bagi
hasil
|
Bunga
|
Return
|
15,5-16%
indikatif
|
15,5-16%
tetap
|
Rating
|
AA+
|
AA+
|
DAFTAR PUSTAKA
v Eugene F. Brigham & Joel F. Houston.
Manajemen Keuangan. Edisi Kedelapan, Buku 1. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001
v Sapto Rahardjo. Panduan Investasi Obligasi.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
v Mamduh M. Hanafi. Manajemen Keuangan. Cetakan
Pertama. Yogyakarta: BPFE UGM, 2004.
v R. Ervin A Priambodo Relevansi ORI Secara Makro
dan Mikro. Jurnal USAHAWAN No. 11 TH XXXV Novemper 2006.
v Majalah INVESTOR. Edisi 151. 25 Juli – 7
Agustus 2006.
v Asmuni M. Thaher. Obligasi Syariah di
Indonesia. Artikel di MSI-UII.Net
v Rizki Wicaksono. Halalkah ORI 001? Artikel
LPPOM-MUI online
v
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah…, hlm. 226.
[1] Janji disini adalah janji
setia hamba kepada Allah SAW. Dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.