Senin, 19 Maret 2012

makalah sukuk dan obligasi konvensional


BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu isu terhangat pasar keuangan syariah adalah kesesuaian syariah dari sukuk. Muhammad Taqi Usmani, seorang ahli fikih dan pakar keuangan syariah kenamaan yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Syariah AAOIFI, sebuah lembaga internasional terkemuka yang membuat berbagai aturan standar keuangan syariah dunia, mengatakan 85 persen penerbitan sukuk dunia tidak sesuai dengan syariah.
itu menyatakan bahwa sukuk-sukuk (Obligasi Syari’ah) tersebut pada umumnya memiliki kemiripan praktik dengan obligasi konvensional berbasis bunga sehingga jika tidak segera diperbaiki mekanismenya dikhawatirkan akan menciptakan sejumlah masalah di masa datang. Ia pun mempermasalahkan struktur sukuk yang lebih mendekati struktur debt-based daripada equity-based. Sebuah pernyataan yang perlu mendapatkan perhatian dari seluruh pemangku kepentingan industri keuangan syariah mengingat latar belakang kepakaran beliau tidak diragukan lagi.
Harus kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk terobosan baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang.Inilah salah satu bentuk produk yang paling inovatif dalam pengembangan sistem keuangan syariah kontemporer. 
Obligasi syariah berbeda dengan obligasi konvensional.Semenjak ada konvergensi pendapat bunga adalah riba, maka instrument-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing instrument) ini keluarkan dari daftar investasi halal.Kerna itu, dimunculkan alternative yang dinamakan obligasi syariah.
Pada awalnya, penggunaan istilah “obligasi syariah” sendiri dianggap kontradiktif.Obligasi sudah menjadi kata yang tak mungkin lepas dari bunga sehingga tidak dimungkinkan untuk disyariahkan.
Karakteristik dan istilah sukuk merupakan pengganti dari istilah sebelumnya yang memggunakan istilah bond, dimana istilah bond mempunyai makna loan (hutang), dengan menambahkan Islamic maka kontradiktif maknanya karena biasanya yang mendasari mekanisme hutang (loan) adalah interest, sedangkan dalan Islam interest tersebut termasuk riba yang diharamkan. Untuk itu sejak tahun 2007 istilah bond ditukar dengan istilah Sukuk sebagaimana disebutkan dalam peraturanm di Bapepam LK.
Sukuk bukan merupakan utang berbunga tetap, tetapi lebih merupakan penyertaan dana (investasi) yang didasarkan pada prinsip bagi hasil jika menggunakan akad mudharabah dan musyarakah. Transaksinya bukan akad hutang piutang melainkan penyertaan.



BAB II
PEMBAHASAN
I.         Sukuk (Oligasi Syari’ah)
A.    Pengertian sukuk
Sukuk berasal dari kata “صكوك” bentuk jamak dari kata “صك”dalam bahasa Arab yang berarti cek atau sertifikat, atau alat tukar yang sah selain uang. Kata “sukuk” pertama kali diperkenalkan kembali dan diajukan sebagai salah satu alat keuangan Islam pada rapat ulama fikih sedunia yang diselenggarakan oleh Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 2002. Secara singkat AAOIFI mendefinisikan sukuk sebagai sertifikat berniliai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu asset, hak manfaat dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu.
Pada prinsipnya sukuk mirip seperti obligasi konvensional dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu asset yang menjadi dasar penerbitan sukuk dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agara instrument keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar dan maysir.
Sukuk bukan merupakan utang berbunga tetap, tetapi lebih merupakan penertaan dana (investasi) yang didasarkan pada prinsip bagi hasil jika menggunakan akad mudharabah dan musyarakah. Transaksinya bukan akad hutang piutang melainkan penyertaan.

B.     Dalil sukuk atau Obligasi syari’ah
Adapun dalil yang berkenaan dengan kebolehan Sukuk (obligasi syariah) penyusun sarikan dari Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Berikut dalil-dalilnya:
1.      Firman Allah SWT, QS. Al-Ma’idah [5]:1:
يَاْاَيُّهَااَّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اَوْفُوْا بِاْلعُقُوْدِ
Hai orang – orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu[1]
2.      Firman Allah SWT, QS. Al-Isra’ [17]: 34:
وَاَوْفُوْا بِاْلعَهْدِ اِنَّ اْلعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
4 “......dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”


3.    Hadis Nabi SAW:
عن عمرو بن عوف المزاني قال رسول الله ص م : الصّلْح جائز بين الْمسلمين الا صلْحا حرّم حلالا أَو أَحلّ حراما والْمسلمون علَى شروطهِم إلا شرطا حرّم حلالا أو أحلّ حراما (رواه امام الترمذى)
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
4.   Kaidah Fikih:
الأصل فى العادات العفو فلا يحظر منه الا ما حرم الله
C.     Pendapat Ulama’
Fatwa dewan syari`ah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Sukuk (Obligasi syari`ah) adalah surat berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikelurkan emitten kepada pemegang obligasi syariah, tersebut berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.”
Karakteristik dan istilah sukuk merupakan pengganti dari istilah sebelumnya yang memggunakan istilah bond, dimana istilah bond mempunyai makna loan (hutang), dengan menambahkan Islamic maka kontradiktif maknanya karena biasanya yang mendasari mekanisme hutang (loan) adalah interest, sedangkan dalan Islam interest tersebut termasuk riba yang diharamkan. Untuk itu sejak tahun 2007 istilah bond ditukar dengan istilah Sukuk sebagaimana disebutkan dalam peraturanm di Bapepam LK.
Abu Hanifa dan muridnya Abu Yusuf memberikan pandangan bahwa penjualan sesuatu/properti yang belum diterima oleh si penjual namun sudah jelas keberadaan fisiknya (dapat dicek keberadaannya) adalah diperbolehkan. Maka dari sinilah pondasi instrument bernama sukuk di abad modern ini bermula. (Abu Fahmi
D.    Pendapat sendiri
Sukuk (Obligasi syariah) merupakan alternative bagi umat islam untuk berinvestasi secara aman dan halal. Kita tidak sedang berandai-andai bahwa kita hidup di zaman dahulu dimana kehidupan dunia belum terhubungkan dengan cepat dan terbuka lebar. Kita harus faham bagaimana kaum kapitalis menguasai dunia melalui penguasaan perusahaan-perusahaan yang memenuhi keperluan hidup orang banyak, khususnya Muslim. Apakah Muslim tidak boleh menjadi pemilik perusahaan-perusahaan tersebut? Atau apakah perusahaan-perusahaan milik Muslim tidak boleh masuk bursa disebabkan instrument yang mengandung riba? Muslim berhak dan wajib menguasai perekonomian dunia, dan Islam melalui kekayaan khazanah pemikiran ulamanya telah menciptakan sukuk sebagai instrument pengganti tersebut yang bebas dari unsur riba, judi, dan gharar.

E.     Hukum sukuk (obligasi konvensional)
sukuk dalam mekanisme dan persyaratan tertentu yang menghindarkan diri dari kedua unsur yang disebutkan dalam riwayat di atas adalah boleh dan halal.

II.      Obligasi konvensional
A.    Pengertian
Terdapat bebarapa defenisi mengenai obligasi. Obligasi atau bond, adalah surat hutang jangka panjang yang dikeluarkan oleh emiten (peminjam) dapat berupa badan hukum/ perusahaan atau pemerintah yang memerlukan dana untuk kebutuhan operasi maupun ekspansi mereka, dengan kewajiban untuk membayar kepada bond holder (pemegang obligasi) sejumlah bunga tetap yang telah ditetapkan sebelumnya. Investasi pada obligasi memiliki potensial keuntugan lebih besar dari pada produk perbankan.Keuntugan berivestasi di obligasi adalah memperoleh bunga dan kemugkianan adanya capital again.
Defenisi lainnya, obligasi adalah suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi dan janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran. Ketentuan lain dapat juga dicantumkan dalam obligasi tersebut misalnya, identitas pemegang obligasi, pembatasan – pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan oleh penerbit

B.     Dalil Obligasi Konvensional
Imam Malik dalam al-muwatha’:
Yahya meriwayatkan padaku (Imam Malik) dari Malik bahwa ia mendengar tanda terima/resit/kwitansi (sukukun) dibagikan pada penduduk pada masa Marwan ibn al-Hakam untuk barang-barang yang berada di pasar al-Jar. Penduduk membeli dan menjual kwitansi/resit tersebut diantara mereka sebelum mereka mengambil barangnya. Zayd ibn Tsabit bersama seorang Sahabat Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, pergi menghadap Marwan ibn al-Hakam dan berkata, “Marwan! Apakah engkau menghalalkan Riba?” Ia menjawab, “Naudzubillah! Apakah itu?” Ia berkata, “Resit-resit ini yang dipergunakan penduduk untuk berjual-beli sebelum menerima barangnya.” Marwan kemudian mengirim penjaga untuk mengikuti mereka dan mengambilnya dari penduduk kemudian mengembalikannya pada pemilik asalnya.
Riwayat ini menunjukan keharaman surat jaminan karena dua hal;
(1) apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam riwayat tersebut sesungguhnya adalah jual-beli hutang dan,
(2) hal-hal yang berhubungan dengan riba al-nasi’ah terutamanya pada penggunaan dayn dalam pertukaran (sarf) barang yang sama jenisnya.
C.   Pendapat Ulama’
Sebagian besar ulama Islam kontemporer melarang jual beli obligasi konvensional dalam semua jenis dan secara keseluruhan, serta menganggap bahwa hukumnya haram mutlak. Para ulama yang berpendapat seperti itu ialah Syaikh Shaltut, Muhammad Yusuf Mussa, Syaikh Yusuf Qardawi, Abdul Aziz al Kahiat, Ali al Salus, dan Saleh Marzuki dengan memberi petunjuk fiqh yang menjadi dasar keluarnya fatwa larangan tersebut yaitu:
1.  Obligasi konvensional yang dikeluarkan oleh perusahaan atau pemerintah dianggap sama seperti utang yang di dalamnya terdapat bunga. Bunga ini bisa dikategorikan sebagai riba al-nasia yang diharamkan oleh Islam.
2.  Utang obligasi sama dengan deposito yang disimpan dalam bank, dan hitungan bunga atas obligasi dianggap sama dengan bunga deposito, walaupun uang dari obligasi itu bisa diinvestasikan secara khusus setelah diserahkan kepada pihak yang mengeluarkan obligasi serta dijamin atas pengembaliannya setelah jatuh tempo plus tambahnya (bunga). Cara ini dianggap sama saja dengan utang yang dipakai untuk produksi yang dikenal di zaman jahiliah dan diharamkan oleh Al-Qur’an dan Sunah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) tentang Obligasi
Batasan-batasan obligasi yang diperbolehkan dalam syariah islam dari fatwa-fatwa tersebut adalah:
§ Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat hutang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga.
§Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
§ Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
D.   Pendapat Sendiri
Tidak ada dalil yang menghalalkan obligasi konvensional.

F.        Hukum Obligasi Konvensional
Hokum Obligasi Konvensional adalah haram, karena tidak sesuai dengan ajaran syariat.
BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
1)      Pada prinsipnya sukuk mirip seperti obligasi konvensional dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu asset yang menjadi dasar penerbitan sukuk dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agara instrument keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar dan maysir.
2)      sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk terobosan baru dalam dunia keuangan Islam
3)      Perbedaan antara obligasi syariah dengan obligasi konvensional dapat dilihat terutama pada pendapatannya. Obligasi syariah memakai sistim bagi hasil sedangkan obligasi konvensional returnnya/pendapatannya memakai sistim bunga. Perbedaan kedua obligasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
4)      Tabel 1. Obligasi Syariah dengan Obligasi Konvensional
Keterangan
Sukuk (Obligasi Syariah)
Obligasi Konvensional
Harga penawaran
100%
100%
Jatuh tempo
5 tahun

Pokok Obligasi saat j`tuh tempo
100%
100%
Pendapatan
Bagi hasil
Bunga
Return
15,5-16% indikatif
15,5-16% tetap
Rating
AA+
AA+













DAFTAR PUSTAKA

v  Eugene F. Brigham & Joel F. Houston. Manajemen Keuangan. Edisi Kedelapan, Buku 1. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001
v  Sapto Rahardjo. Panduan Investasi Obligasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
v  Mamduh M. Hanafi. Manajemen Keuangan. Cetakan Pertama. Yogyakarta: BPFE UGM, 2004.
v  R. Ervin A Priambodo Relevansi ORI Secara Makro dan Mikro. Jurnal USAHAWAN No. 11 TH XXXV Novemper 2006.
v  Majalah INVESTOR. Edisi 151. 25 Juli – 7 Agustus 2006.
v  Asmuni M. Thaher. Obligasi Syariah di Indonesia. Artikel di MSI-UII.Net
v  Rizki Wicaksono. Halalkah ORI 001? Artikel LPPOM-MUI online
v  Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah…, hlm. 226.


[1] Janji disini adalah janji setia hamba kepada Allah SAW. Dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam  pergaulan sesamanya.